Home » Kehidupan » Keluarga » Hak Asuh Anak dalam Perceraian yang Harus Diketahui

Hak Asuh Anak dalam Perceraian yang Harus Diketahui

by Rini Yuliana

Perceraian tak jarang terjadi dalam pernikahan. Dewasa ini, perceraian di Indonesia seakan-akan telah menjadi tren dan tidak dianggap sebagai hal yang sangat wajar dalam pernikahan. “Jika tidak cocok dan sering cekcok, ya cerai!,” begitu pikir masyarakat kita ini. Cerai adalah benang merah dari problematika rumah tangga yang menurut mereka sudah tak bisa diselamatkan. padahal dulunya segala hubungan keluarga ini didasari dengan cinta. tetapi jika sudah ada masalah berujung pada perceraian

Seiring semakin banyaknya kasus perceraian ini, hal yang menjadi fokus selanjutnya adalah hak asuh anak. Dengan siapakah anak akan tetap tinggal dan bagaimana kesepakatan orang tua anak mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa depan anak, dalam hal finansial khususnya.

Hal ini sering menjadi perdebatan yang alot antara orangtua anak. Mereka sama-sama menginginkan untuk mengasuh, merawat dan tinggal bersama dengan si buah hati mereka. Namun tetap saja hal tersebut akan berakhir jika sudah ada ketuk palu dari hakim di pengadilan mengenai akan jatuh pada siapa hak asuh anak mereka.

Berikut adalah hak asuh anak dalam perceraian :

Hak Asuh Anak Dalam Undang-Undang

Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan hakim bersifat hitam-putih atau legal-formal. Namun tidak berarti bahwa hakim tidak mempertimbangkan kebutuhan anak yang sedang menjadi sengketa hak asuhnya. Banyak pendekatan yang dilakukan hakim, seperti melalui aspek psikologis dan sosial.

Istilah mumayyiz digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu istilah untuk anak yang sudah matang secara psikologis dengan tujuan agar hakim paham bahwa yang menjadi pertimbangan bukan hanya dari segi umur, namun juga kualitas kematangan psikologis anak. Dan pertimbangan psikologis atau mental ini tidak hanya berlaku bagi si anak, namun bagi orang tua yang akan mengasuhnya nanti. Karena banyak orang tua yang bermasalah, baik dengan dirinya maupun dengan lingkungan sekitarnya terlebih lagi pada anaknya sendiri. Apakah orang tua itu memiliki ikatan emosional yang baik dengan anak atau tidak. Jika kondisi orang tua sendiri pun buruk, maka tentu ia tidak mampu mengatasi kejiwaan si anak atau bahkan memperburuk keadaan anak.

Akan terjadi ketidakadilan bagi anak bila hakim hanya mempertimbangkan psikologis anak tersebut. Keadilan hukum harus mendahulukan hak anak dan menilai sejauh mana orangtua dapat memberi keteladan karakter untuk anak. Meskipun dalam pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun hakim tetap dapat melakukan diskresi, diskresi merupakan kebebasan mengambil suatu keputusan yang diambil terlebih dahulu sebelum menghadapi suatu situasi, bahwa tidak selamanya ibu mendapatkan hak menjadi pengasuh anak dengan berbagai alasan, seperti jika dalam proses persidangan ditemukan fakta bahwa ibu dari anak adalah seorang penjudi, pemabuk, ringan tangan dan menelantarkan anak, maka bisa jadi hak asuh akan jatuh pada pihak ayah.

Pasal 45 ayat (2)

  • Disebutkan dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan  bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
  • Pasal diatas mengindikasikan bahwa anak harus tetap mendapat perlindungan dan kasih sayang dari orang tua bahkan jika orang tuanya bercerai sekalipun. Perceraian dianggap sebagai satu-satunya jalan dan yang terbaik bagi pasangan suami istri, namun tidak demikian halnya dengan anak mereka. Orangtua anak mungkin sudah mempersiapkan secara fisik dan psikis apa yang akan dihadapi dalam dan ataus setelah perceraian, namun anak tetap mengalami dampak yang buruk dengan kejadian yang bagi mereka sangat tiba-tiba.
  • Penguasaan atas anak oleh salah satu pihak bukan berarti menghalangi atau memutus hubungan dengan pihak lain. Penguasaan tunggal atas anak bertujuan untuk menghindarkan anak sebagai korban dalam perceraian itu. Anak harus diberikan kepastian hukum (rechtzekerheid) agar memiliki kepastian dengan siapa dia diasuh agar tidak terus diperebutkan.
  • Bahkan KHI secara rinci mengatur kekuasaan orang tua terhadap anak dengan memakai istilah “pemeliharaan anak” di dalam pasal 98 sampai 112, dimana pasal 107 sampai 112 secara khusus membahas masalah perwalian.

Pasal 98

  • Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
  • Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
  • Pengadilan Agama dan menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 105

dalam  hal terjadinya perceraian:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Dan dari pasal-pasal diatas dapat dilihat bahwa ada penegasan kewajiban pengasuhan secara material dan non material adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, KHI juga menyampaikan bahwa pengasuhan anak tetap menjadi tugas kedua orang tua kendati mereka telah bercerai. Untuk anak dibawah umur 12 masih ikut atau diasuh ibunya dan ayah menanggung pembiayaan anak. Namun, tetap saja dalam hal ini umur 12 tahun itu tidak bersifat mutlak atau menjadi angka mati tergantung manfaat dan dampak negatif yang ada.

Kewajiban orang tua terhadap anak pada dasarnya adalah pemeliharaan dan pendidikan. Dan ini berlaku terus sampai sang anak menikah atau dapat berdiri sendiri (hidup mandiri) walaupun pernikahan orang tuanya sudah berakhir. Hal ini berlandaskan pada Undang-undang Perkawinan pasal 45 ayat 1 dan 2 dijelaskan tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, yaitu:

  • Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
  • Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Dalam UU Perkawinan pasal 41 juga akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
  2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Tercantum pada pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:  “meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.” Dapat dilihat bahwa yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan adalah bapak. Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan sesuai kebutuhan anak, dan ketentuan tersebut disesuaikan dengan keadaan ekonomi orang tua.

Dengan begitu, dari beberapa pasal dan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa hak asuh anak akan jatuh pada ibu jika belum berumur 12 tahun. Namun bisa jadi jatuh pada ayahnya jika ada beberapa masalah pada sang ibu kaitannya dengan sikap pada anak. Untuk pembiayaan menjadi hak ayah dan disesuaikan kebutuhan anak dan keadaan ekonomi.

Demikian adalah ulasan mengenai hak asuh anak pasca perceraian. Semoga anak tidak lagi menjadi korban dalam setiap perpisahan orang tuanya. Tidak ada lagi kesan bahwa anak adalah barang yang diperebutkan.

semua itu pasti memiliki penyebab mengapa adanya perebutan hak asuh, penyebab berikut adalah

  1. adanya perceraian, karena banyak penyebab perceraian di indonesia.
  2. adanya perselingkuhankarena sekarang ini banak sekali peyebab pria selingkuh dari istrinya, agar tidak terjadi banyak perselingkuhan baca: cara mencegah selingkuh dan cerai
  3. tidak mengetahui bagaimana cara menjaga rumah tangga yang baik sehingga timbul perceraian
  4. adanya broken home, karena hal ini merupakan salah satu dampak broken home terhadap anak

Semoga bermanfaat.

artikel terkait tentang hukum

  1. hukum tentang pernikahan sejenis
  2. hukum tentang kawin kontrak

You may also like