Perceraian tak jarang terjadi dalam pernikahan. Dewasa ini, perceraian di Indonesia seakan-akan telah menjadi tren dan tidak dianggap sebagai hal yang sangat wajar dalam pernikahan. “Jika tidak cocok dan sering cekcok, ya cerai!,” begitu pikir masyarakat kita ini. Cerai adalah benang merah dari problematika rumah tangga yang menurut mereka sudah tak bisa diselamatkan. padahal dulunya segala hubungan keluarga ini didasari dengan cinta. tetapi jika sudah ada masalah berujung pada perceraian
Seiring semakin banyaknya kasus perceraian ini, hal yang menjadi fokus selanjutnya adalah hak asuh anak. Dengan siapakah anak akan tetap tinggal dan bagaimana kesepakatan orang tua anak mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masa depan anak, dalam hal finansial khususnya.
Hal ini sering menjadi perdebatan yang alot antara orangtua anak. Mereka sama-sama menginginkan untuk mengasuh, merawat dan tinggal bersama dengan si buah hati mereka. Namun tetap saja hal tersebut akan berakhir jika sudah ada ketuk palu dari hakim di pengadilan mengenai akan jatuh pada siapa hak asuh anak mereka.
Berikut adalah hak asuh anak dalam perceraian :
Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan hakim bersifat hitam-putih atau legal-formal. Namun tidak berarti bahwa hakim tidak mempertimbangkan kebutuhan anak yang sedang menjadi sengketa hak asuhnya. Banyak pendekatan yang dilakukan hakim, seperti melalui aspek psikologis dan sosial.
Istilah mumayyiz digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu istilah untuk anak yang sudah matang secara psikologis dengan tujuan agar hakim paham bahwa yang menjadi pertimbangan bukan hanya dari segi umur, namun juga kualitas kematangan psikologis anak. Dan pertimbangan psikologis atau mental ini tidak hanya berlaku bagi si anak, namun bagi orang tua yang akan mengasuhnya nanti. Karena banyak orang tua yang bermasalah, baik dengan dirinya maupun dengan lingkungan sekitarnya terlebih lagi pada anaknya sendiri. Apakah orang tua itu memiliki ikatan emosional yang baik dengan anak atau tidak. Jika kondisi orang tua sendiri pun buruk, maka tentu ia tidak mampu mengatasi kejiwaan si anak atau bahkan memperburuk keadaan anak.
Akan terjadi ketidakadilan bagi anak bila hakim hanya mempertimbangkan psikologis anak tersebut. Keadilan hukum harus mendahulukan hak anak dan menilai sejauh mana orangtua dapat memberi keteladan karakter untuk anak. Meskipun dalam pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun hakim tetap dapat melakukan diskresi, diskresi merupakan kebebasan mengambil suatu keputusan yang diambil terlebih dahulu sebelum menghadapi suatu situasi, bahwa tidak selamanya ibu mendapatkan hak menjadi pengasuh anak dengan berbagai alasan, seperti jika dalam proses persidangan ditemukan fakta bahwa ibu dari anak adalah seorang penjudi, pemabuk, ringan tangan dan menelantarkan anak, maka bisa jadi hak asuh akan jatuh pada pihak ayah.
Pasal 45 ayat (2)
Pasal 98
Pasal 105
dalam hal terjadinya perceraian:
Dan dari pasal-pasal diatas dapat dilihat bahwa ada penegasan kewajiban pengasuhan secara material dan non material adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, KHI juga menyampaikan bahwa pengasuhan anak tetap menjadi tugas kedua orang tua kendati mereka telah bercerai. Untuk anak dibawah umur 12 masih ikut atau diasuh ibunya dan ayah menanggung pembiayaan anak. Namun, tetap saja dalam hal ini umur 12 tahun itu tidak bersifat mutlak atau menjadi angka mati tergantung manfaat dan dampak negatif yang ada.
Kewajiban orang tua terhadap anak pada dasarnya adalah pemeliharaan dan pendidikan. Dan ini berlaku terus sampai sang anak menikah atau dapat berdiri sendiri (hidup mandiri) walaupun pernikahan orang tuanya sudah berakhir. Hal ini berlandaskan pada Undang-undang Perkawinan pasal 45 ayat 1 dan 2 dijelaskan tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, yaitu:
Dalam UU Perkawinan pasal 41 juga akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
Tercantum pada pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu: “meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.” Dapat dilihat bahwa yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan adalah bapak. Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan sesuai kebutuhan anak, dan ketentuan tersebut disesuaikan dengan keadaan ekonomi orang tua.
Dengan begitu, dari beberapa pasal dan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa hak asuh anak akan jatuh pada ibu jika belum berumur 12 tahun. Namun bisa jadi jatuh pada ayahnya jika ada beberapa masalah pada sang ibu kaitannya dengan sikap pada anak. Untuk pembiayaan menjadi hak ayah dan disesuaikan kebutuhan anak dan keadaan ekonomi.
Demikian adalah ulasan mengenai hak asuh anak pasca perceraian. Semoga anak tidak lagi menjadi korban dalam setiap perpisahan orang tuanya. Tidak ada lagi kesan bahwa anak adalah barang yang diperebutkan.
semua itu pasti memiliki penyebab mengapa adanya perebutan hak asuh, penyebab berikut adalah
Semoga bermanfaat.
artikel terkait tentang hukum
Selain menawan dari segi fisik, seorang pria dapat jatuh cinta kepada seorang wanita dan yakin…
Bakat dan jiwa pemimpin tidak terdapat di dalam diri semua orang. Hanya beberapa orang saja…
Anak kecil dikenal dengan tingkah yang lucu dan perilakunya yang menyenangkan. Sebagian orang merasa mendapatkan…
Sebagian orang menemukan kenyamanan bila bertemu dengan banyak orang, khususnya saat tiba waktunya kumpul dengan…
Kepo kini menjadi istilah populer yang digunakan hampir oleh semua orang ketika menyatakan keingintahuan dan…
Bicara soal foto, setiap orang mungkin memiliki preferensinya masing-masing soal pose. Ada yang suka berswafoto,…